Beranda | Artikel
Air Mata di Pusara Ibu
Kamis, 22 Mei 2008

AIR MATA DI PUSARA IBU

Saya pernah membaca buku berjudul Dam’ah ‘ala Qabri Ummi (Air Mata di Pusara Ibu) yang ditulis Prof Shalih Al Ayid. Penulis buku ini sejak kecil ditinggal wafat ayahnya dan dibesarkan ibunya. Perjuangan ibu dan pengorbanan untuk anak-anaknya sangat berkesan di hati anak. Ketika ibunya wafat, ia benar-benar sedih.

Maka, beliau menulis buku tersebut untuk mengenang dan mengungkapkan perasaan sedihnya, mengingatkan besarnya jasa ibu, dan menghibur dirinya agar sabar, ikhlas, pasrah, dan tawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Prof Al Ayid berkata dalam buku itu, “Sesungguhnya doa ibu tidak mungkin meleset. Ibuku-semoga Allah merahmatinya-selalu ridha terhadap anak-anaknya dan sangat mencintai mereka. Ibuku selalu berdoa memohon kebaikan untuk anak-anaknya di setiap waktu. Berdoa dengan hati yang bersih tanpa ada dendam dan kebencian. Karena itu, saya melihat segala kemudahan dalam segala urusanku adalah hasil dari doa beliau secara nyata dan tidak ada keraguan sedikitpun. Berapa banyak pintu kebaikan terbuka untukku dengan tidak disangka-sangka dan berapa banyak tipu daya orang-orang yang iri dan dengki menjadi runtuh karena karunia Allah disebabkan doa ibuku yang dikabulkan-Nya.”

Prof Muhammad Mukhtar Syinqithi, pengajar di Masjid Nabawi dan dosen di Islamic University, Madinah, memiliki kisah lain. Ia rutin mengajar hadis dan fikih di Masjid Malik Su’ud, Jeddah. Kajian berlangsung setiap pekan, antara Maghrib hingga Isya. Setelah azan Isya dan sebelum iqamat, ada tanya jawab selama 20 menit.

Suatu kali, pernah beliau datang dari Madinah ke Jeddah hanya menyampaikan pengajian sekitar 15 menit saja. Ibunya sakit. Beliau tadinya ingin meliburkan pengajian untuk mendampingi dan merawat ibunya, tetapi ibunya memerintahkan dia agar tetap mengajar di Jeddah. Karena patuh kepada sang ibu, ia berangkat ke Jeddah.

Tapi, ia mengajar hanya 15 menit lalu pulang lagi ke Madinah. Perjalanan pulang pergi 900 km hanya untuk mengajar 15 menit! Sebulan kemudian, ibunya wafat-semoga Allah merahmatinya-dalam keadaan ridha kepada anaknya. Mengapa Ibu? Berbakti kepada ibu bapak wajib hukumnya. Berbuat baik ke ibu tiga kali besarnya dari berbuat baik ke ayah. Kedudukan ibu sangatlah mulia.

Kita prihatin sekali jika mendengar sebagian dari anak-anak remaja dan pemuda berani berkata dengan suara lebih keras kepada ibunya. Membantah, memarahi, bahkan menyakiti ibu dengan ucapan maupun perbuatan.

Mohonlah maaf kepada ibu, mintalah ridha dan doanya. Jangan sampai terjadi, ibu kita wafat dalam keadaan kita durhaka kepadanya dan kita belum sempat minta maaf kepadanya.

Sering kita baru merasakan betapa besar nikmat Allah saat nikmat itu dicabut dari kita. Kita merasakan betapa besar nikmat sehat setelah kita sakit, nikmat keamanan setelah datangnya kekacauan, nikmat keutamaan seorang guru setelah kita kehilangannya, nikmat keberadaan orang tua setelah wafatnya. Sungguh beruntung seorang anak yang dapat melihat kedua orang tuanya pagi dan petang.

Sungguh beruntung seorang anak yang masih memiliki kedua orang tua atau salah satunya. Sungguh beruntung seorang anak yang dibutuhkan oleh kedua orang tua atau salah satunya. Sungguh beruntung seorang anak yang mendapatkan taufik Allah untuk berbakti kepada orang tuanya.

Jumat 28 Jun 2013
Fariq Gasim Anuz


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2451-air-mata-di-pusara-ibu.html